Minggu, 02 Mei 2010

kartu kredit

hari ini gw berdiskusi cukup hangat dengan bunda
berawal dari keheranan dia akan jumlah saldo rek bank dia
"kok rek bac aku tinggal sedikit ?" sambil mikir keras.
sampe akhirnya bunda menarik kesimpulan sendiri kalo wajar tabungannya tinggal sedikit, karena ada kebutuhan mendadak dan bayar tagihan kartu kredit bulan ini cukup besar.

Nah pas di mobil lah bunda cerita mengenai pengeluaran dia tiap bulan. Salah satunya tentang besarnya pembayaran kartu kredit dia. Dan begitu gw tahu angkanya gw sempat kaget, karena itu 4 kali dari tagihan kartu kredit gw. Dan buat gw prinsipnya sebisa mungkin mengurangi penggunaan kartu kredit. Kenapa? karena kalo kita nggak kuat2 iman, kita bisa lepas kontrol. enak dimuka nggak enak di belakang. Sementara buat bunda, karena kita udah bayar iuran tahunan tiap tahun, kita harus sering2 makenya biar nggak rugi. semisal ada diskon belanja ini itu bila pake kartu kredit, maka bunda akan berusaha bisa memanfaatkan itu, meski terpaksa menambah jumlah belanjaannya supaya syarat minimal diskonnya terpenuhi.

Dari dulu gw punya pengalaman tidak menyenangkan mengenai hutang. Bukan gw tepatnya, tapi ayah gw. Saking jujurnya beliau sebagai guru, beliau baru bisa beli rumah sangat sederhana saat beliau pensiun. Boro2 memanjakan anak2nya, yang ada penghasilan beliau lebih banyak buat mengangsur hutang yang lumayan banyak karena penghasilan beliau sebagai guru tidak mencukupi untuk hidup lebih layak. Meski demikian, beliau masih sempat meluangkan waktu beliau buat ngurusi warga beliau (beliau jadi ketua RW selama 12 th) meski nggak dibayar.
Nah karena pengalaman hidup semasa kecil inilah yang bikin gw menarik pelajaran berharga, supaya berhati2 bila berutang. Apapun itu bentuknya. Dan kenyataan bahwa Ayah gw br bisa membelikan rumah buat keluarganya saat beliau pensiun, mencambuk gw supaya bisa beli rumah saat gw masih muda. Gw nggak mau keluarga gw jadi kontraktor bertahun2. Capek rasanya tiap lima tahun mesti pindahan dari kontrakan satu ke kontrakan yang lain.

Nilai2 itulah yang gw terapin saat gw akhirnya bisa mencari penghasilan sendiri. gw termasuk yang suka berhitung dalam hal pengeluaran. Pernah selama 4 tahun, gw selalau catat apapun pengeluaran gw setiap hari , meski itu cuma seribu rupiah. Kenapa? supaya gw bisa evaluasi gaya hidup gw. Gw nggak mau lebih besar pasak daripada tiang. Gw belajar dari keluarga saudara gw, yang biaya hidupnya melebihi penghasilannya. Akibatnya, hutangnya numpuk sana-sini. Kasian. kenapa? karena hutang termasuk hal yang akan memberatkan langkah seseorang yang sudah meninggal ketika akan berangkat ke alam barzah. Makanya , biasanya saat jenazah seorang muslim hendak diberangkatkan ke kuburnya, biasanya wakil keluarga menanyakan adakah hutang si mayit kepada yang hadir. Karena itu harus diselesaikan dulu sebelum mayitnya dikuburkan.

Gw selalu berusaha membedakan keinginan dan kebutuhan. Berapa banyak orang yang membelanjakan uangnya untuk sesuatu yang sebenarnya dia tidak terlalu butuhkan. Semisal gara2 ada diskon besar2an di sebuah toko, mereka akhirnya memborong barang2 yang ada , karena beranggapan kalo ini kesempatan langka yang nggak datang dua kali. Padahal saat sampe di rumah, barulah disadari bahwa mereka sebenarnya belum terlalu membutuhkan barang2 tersebut. Ini yang disebut sebagai masyarakat konsumtif. Dan ini merupakan sasaran empuk perusahaan besar terutama dari negara2 kapitalis. masyarakat indonesia kebanyakan adalah pengguna/pemakai, bukan pembuat. Inilah yang bikin salah satu perusahaan retail modern asal prancis sukses besar disini. Meski mereka melanggar secara terang2an aturan perdagangan. Karena dengan adanya mereka, matilah usaha2 kecil retail yang bermodal kecil.

Balik lagi ke masalah bunda. Kalo gw melihat dari kacamata gw, pasti itu suatu yang berlebihan. Karena gw punya prinsip hidup hemat. Kalo bisa makan di kantor gratis, kenapa makan diluar? meski rasanya standar,buat gw nggak masalah. Bukan masalah menikmati hidup dan jerih payah. Tapi gw ngliat justru disinilah letak kesabaran gw dilatih. Orang punya uang 10rb pasti akan sabar ketika dia tidak mampu membeli baju dengan harga 100rb. Tapi bisakah orang dengan gaji 1o juta, sabar untuk tidak membeli baju seharga 100rb? karena dia masih punya banyak baju yang mungkin jarang dia pakai? temen2 kantor gw jg sering tuh pada pesen makan diluar, dengan alasan masakan katering nggak enak. Kalo menurut gw sih, itu pemborosan. Kenapa? karena uang makan tidak mungkin dikembalikan,dan yang pasti menu katering sudah dihitung nilai gizinya dengan benar dibanding makanan luar yang bisa jadi justru terlalu banyak kolesterolnya. Artinya, disinilah pikiran kita harus mampu menaklukan nafsu kita.

Tapi mungkin buat bunda itu nggak masalah, hidup boleh dong dinikmati, toh dia mampu bayar, dan uang buat bayarnya halal, bukan dari hasil korupsi.

Ya sah2 aja sih. Hidup memang harus dinikmati. Tapi kurang nikmat kalo itu kita nikmati sendirian. Kalo rezeki kita bisa kita bagikan ke orang lain yang kurang beruntung, mungkin akan lebih nikmat hidup ini. Dan gw percaya dengan konsep sedekah dan berkah, sebagaimana sering diingatkan oleh seorang dai muda yang kantornya nggak jauh dari rumah bunda. Bukan artinya bunda nggak ngelakuin itu, gw yakin dia udah ngamalin itu dari dulu. Tapi porsinya boleh lah ditambahin, kan itung2 belanja buat kepentingan di akhirat kelak. Pendapat bahwa pengeluaran mengikuti penghasilan memang nyata disini. Tapi bolehlah ditambahi jadi pengeluaran dan amal mengikuti penghasilan. jadi dunia akhirat bisa dapet secara berbarengan.

Gw cuma berharap kartu kredit bukan jadi alat yang meningkatkan konsumerisme kita, yang ujung2nya akan selalu menguras kantong kita. tapi diletakkan sebagai pengganti alat bayar yang bisa digunakan saat kita memang benar2 nggak punya uang alias emergency .

Tapi kan gw bukan penasihat keuangan favorit bunda, yang sekolahnya sampe kemana2..jadi bisa jadi banyak salahnya...hehe

Tidak ada komentar:

Posting Komentar